BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Psikologi olahraga merupakan mata kuliah
yang sangat penting dalam perkuliahan olahraga. Sebagai mana telah di ketahui
psikologi olahraga peran yang sangat penting dalam membentuk mental atlet dan
mengantarkan atlet kejenjang juara.
Peran mental dalam kegiatan olahrga
telah banyak di teliti oleh para psikologi dan atlet-atlet di dunia. Bukan
hanya mental yang mengantarkan atlet kejenjang juara, tetapi motivasi dalam
kegitan olahraga itu sangat penting psikologi olahraga itu sangat penting.
Psikologi olahraga juga bukan hanya mengantarkan atlet menjadi juara akan
tetapi juga membentuk karakter atlet yang lebih baik.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Sesuai
dengan apa yang kita sampaikan sebelumnya bahwa makalah ini akan membahas tentang
psikologi dalam olahraga, maka yang akan menjadi rumusan masalahnya kali ini
yaitu :
1. Sejarah
psikologi olahraga
2. Psikologi
dalam olahraga
3. Mental
trainning
C. TUJUAN PENULISAN
Dengan
adanya makalah psikologi olahraga ini di harapkan menambah wawasan dan pengetahuan
khususnya mengenai psikologi olahraga dan juga Untuk mengetahui proses
pisikologi dan seberapa penting psikologi olahraga dalam kegiatan olahraga.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH
SINGKAT PSIKOLOGI OLAHRAGA
Psikologi
olahraga pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898.
Norman Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih
cepat jika mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika
membalap sendiri.
Baru
tahun 1925 laboratorium psikologi olahraga pertama di Kawasan Amerika Utara
berdiri. Pendirinya adalah Coleman Griffith dari Universitas Illinois.
Griffith tertarik pada pengaruh faktor-faktor penampilan atletis seperti waktu
reaksi, kesadaran mental, ketegangan dan relaksasi otot serta kepribadian. Dia
lalu menerbitkan dua buah buku, The Psychology of Coaching (1926)- buku
pertama di dunia Psikologi Olahraga-dan The Psychology of Athletes (1928).
Pada
tahun yang sama, di Eropa sebenarnya juga berdiri sebuah laboratorium Psikologi
Olahraga yang didirikan oleh A.Z Puni di Institute of Physical Culture
in Leningrad. Namun Laboratorium Psikologi Olahraga pertama di dunia sebenarnya
didirikan tahun 1920 oleh Carl Diem di Deutsce Sporthochschule di
Berlin, Jerman.
Setelah
periode tersebut psikologi olahraga mengalami kemandekan. Baru pada tahun
1960-an psikologi olahraga kembali mulai berkembang. Perkembangan ini ditandai
dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan membuka konsentrasi pengajaran pada
Psikologi Olahraga. Puncaknya adalah pembentukan International Society of
Sport Psychology (ISSP) oleh para ilmuan dari penjuru Eropa. Kongres
internasional pertama diadakan pada tahun yang sama di Roma, Italia.
Pada
tahun 1966, sekelompok psikolog olahraga berkumpul di Chicago untuk
membicarakan pembentukan semacam ikatan psikologi olahraga. Mereka kemudian
dikenal dengan nama North American Society of Sport Psychology and Physical
Activity (NASPSPA).
Journal
Sekolah pertama yang dipersembahkan untuk psikologi olahraga keluar tahun 1970
dengan nama The International Journal of Sport Psychology. Kemudian
diikuti oleh Journal of Sport Psychology tahun 1979. Meningkatnya minat
melakukan penelitian dalam bidang psikologi olahraga di luar laboratorium
memicu pembentukan Advancement of Applied Sport Psychology (AAASP) pada
tahun 1985 dan lebih berfokus secara langsung pada psikologi terapan baik dalam
bidang kesehatan maupun dalam konteks olahraga.
Kini
Psikologi Olahraga sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kongres
International Society of Sport Psychology Conference Di Yunani tahun 2000 telah
dihadiri lebih dari 700 peserta yang berasal dari 70 negara. American
Psychological Association pun telah memasukkan psikologi olahraga dalam divisi
mandiri yakni divisi 47.
Penerbitan
dan jurnal pun sudah sangat banyak. Beberapa penerbitan dan jurnal tersebut
adalah (a) International Journal of Sport Psychology (1970); (b) Journal
of Sport Psychology (1979) yang kemudian berubah nama menjadi 1988 Journal
of Sport and Exercise Psychology; NASPSPA pada tahun 1988. penerbitan lain
adalah The Sport Psychologist (1987)—sekarang, Journal of Applied
Sport Psychology (1989)— sekarang, serta The Psychology of Sport and
Exercise.
B.
PSIKOLOGI
DALAM OLAHRAGA
a.
Pentingnya
Psikologi Dalam Olahraga
Griffith
di kenal sebagai “Bapak Psikologi Olahraga”. Ia banyak melakukan studi melalui
rangkaian pengamatan informasi pada berbagai cabang olahraga dan menyusun tes
sebagai tolak ukur. Tiga bidang pengamatan dan setudinya ialah :
1. keterampilan
psikomotor
2. proses
belajar
3. corak
ragam kepribadian
Beberapa
ungkapan menarik mengenai pentingnya factor psikis (mental) atau yang sering
disebut sebagai factor non-teknis, di kemukakan oleh para psikolog olahraga,
pelatih maupun atlet sendiri.
1. James
E Loehr (1982), mengatakan “at least 50
percent of the process of playing well is the result of mental and
psychological factors”. Jelas disini ditekankan pentingnya factor
mental-psikolog.
2. Steven
j. danis (1985), psikologi olahraga dari Pennsylvania, mengatakan “The difference between an outstanding
athletic perfoprmance and a good athletic performance really has very little to
do with phsycal skills. It is mostly related to mental skills. Factor
mental yang berpengaruh besar pada atlet.
3. Sehubungan
dengan teknis, Stepherd mead penulis buku mengatakan bahwa, “tennis is at least 50 percent
psychological”.
b.
Psikologi
Yang Diterapkan Dalam Olahraga
Psikologi Perkembangan
Dalam
psikologi perkembangan dikenal interaksi antara bakat dan lingkungan (nature vs nurture). Kalau bakat sudah ditemukan, usaha pencetakan
atlet sangat diperlukan. Keberhasilan korea selatan atau jepang dalam olahraga
di tingkat dunia jelas menujukan keberhasilan “mencetak atlet”. Pada Negara
maju, tentunya dengan pengetahuan yang maju serta di tunjang peralatan canggih,
mereka berhasil mengembangkan para etlet sampai ke puncak penampilannya sajajar
dengan atlet-atlet dunia lainnya (tentu tidak pada semua cabang olahraga).
Psikologi Belajar
Proses
belajar menjadi ciri umum dari individu yang sedang tumbuh dan berkembang.
Belajar bisa belangsung secara pasif melalui intansi atau secara aktif yang
sengaja di buat, diprogramkan atau diintruksikan. Banyak penampilan yang Nampak
sekarang ini adalah hasil proses belajar (aktif atau pasif). Proses pembentukan
ini banyak mempergunakan dasar dan konsep psikologi belajar.
Dalam
usaha mencentak atlet yang baik perlu usaha keras dan berbagai pihak. Pada
atlet pemula atau muda usia, peran serta dari keluarga (orang tua) besar
sekali, dari minat dan bakat, dari kemampuan teknis sebagai bakat (potensi)
yang dimiliki harus bisa di munculkan (aktualisasi) menjadi prestrasi.
Psikologi kepribadian
L.Cooper
(1969) telah melakukan penelitian dalam jangka waktu lama, yakni dari tahun
1937 sampai tahun 1967. Ia menyimpulkan antara lain : “that atheletes wereclearly achievement oriented”. Aspek
kepribadian yang cukup dominative dalam penampilan atlet ialah motivasi, emosi
dan kognisi.
Psikologi Sosial
Proses
sosialisasi menjadi salah satu aspek yang perlu mendapat pehatian khusus, agar
pandangan dan sikap-sikapnya terhadap orang lain tidak menjadi sempit.
Kepercayaan diri berkaitan pula dengan pengaruh sekelilingnya. Dalam hal ini
yang jelas adalah pengaruh penonton. Penonton adalah sekelompok massa yang bisa
menekan perasan atlet, sekalipun dalam hal-hal tertentu dapat menjadi pendorong
positif kearah penampilannya yang optimal.
Pendekatan
psikologi social dapat diarahkan untuk mengubah sikap penyesuaian diri serta
kepercayaan diri seorang.
Psikometri
Penilaian terhadap atlet merupakan
usaha untuk menentukan langkah-langkah dalam pembinaan lebih lanjut atau
mengambil tindakan-tindakan cepat sesuai dengan kebutuhannya. Penilaian ini
menjadi masalah yang rumit dalam olahraga. Seorang pelatih tinju bisa menilai
kelemahan-kelemahan petinjunya, meskipun penilaian itu tidak selalun sama
dengan pelatih lain. Demikian pula pelatih-pelatih lain dalam cabang olahraga
tennis, tennis meja, bulu tangkis, taekwondo, pencak silat, bahkan juga dalam
olahraga kelompok seperti bola basket, bola voli dan sepak bola. Kreteria untuk
melakukan penilaian acapkali tidak jelas, kabur dan terlalu penyusunan tes agar validitas dan reliabilitasnya
terjamin.
Penggunaan psikometri harus menjadi
kebijaksanaan dan bahkan peraturan sehingga semua hal, yang akan ditentukan
mengenai kepribadian atlet dapat dilakukan dengan dasar patokan yang mantap.
C.
MENTAL
TRAINNING
a.
Meningkat
Dan Merosotnya Prestasi Atlet
Strategi
mental training dan perlakuan (treatment)
yang di latihkan harus disesuaikan dengan keadaan individual atlet, selaiin
harus disesuaikan dengan keadaan sebagian besar anggota team, karena ada mental
training yang ditunjukan kepada atlet orang perorang.
Sehubungan
itu perlu diketahui beberapa gejala yang sering terjadi pada atlet, baik gejala
yang perlu dikembangkan, maupun gejala-gejala yang menimbulkan gangguan atau
hambatan pencapaian pertasi.
Penetapan
strategi mental training selain disesuikan dengan sifat-sifat pembawaan, juga
disesuaikan dengan situasi pada waktu itu, misalnya sedang menghadapi
pertandingaan yang menentukan atau sesudah kalah pertandingan di mana seluruh
anggota tim merasa terpukul dan merasa sangat malu dengan kekalahan yang
dialami.
b.
Gejala
Psikologik Yang Perlu Dikembangkan
Disamping
motivasi, ada beberapa gejala psikologik yang sangat penting dan menentukan
pencapaian perstasi, yaitu antara lain percaya diri, rasa herga diri, disiplin,
tanggung jawab, penguasaan diri, sikap dan konsep diri.
Disamping
itu, perlu di perhatikan adanya gejala-gejala psikologik yang dapat menimbulkan
gangguan, antara lain boredom, fatique,
stalene stress, anxiety dan frustasi.
Agresivitas yang mengandung segi-segi positif juga dapat berdampak negetif
dan perlu di perhatikan dalam upaya peningkatan prestasi.
Motif Berprestasi
Sifat-sifat
mitof di antaranya sebagai berikut :
1.
merupakan sumber penggerak dan pendorong
dari dalam diri subjek yang terorganisasi
2. terarah
pada tujuan tertentu secara selektif
3. untuk
mendapat kepuasan atau menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan
4. dapat
disadari atau tidak disadari
5. ikut
menentukan pola kegiatan
6. bersifat
dinamik, dapat berubah dan dapat di pengaruhi
7. merupakan
ekpresi dari suatu emosi atau afeksi
8. ada
hubungannya dangan unsure kognitif dan afektif
9. motivasi
merupakan determinan sikap dan kinerja
Percaya Diri (“Self Confidence”)
Kepercayaan
pada diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam pembinaan mental
atlet. Percaya pada diri sendiri akan menimbulkan rasa aman. Kepercayaan diri
sendiri biasanya berhubungan erat dengan “emotional
security” makin matap kepercayaan pada diri sendiri makin mantap pula “emotional security” nya, hal ini akan terlihat pada sikap dan tingkah laku
yang tidak mudah bimbang, tenang, tegas, dan sebagainya.
Menurut
Robert N. Sigger (1984), menghadapi atlet yang kurang percaya diri sendiri (“lack of confidence”), pelatih dapat
membantu atlet merasakan identitas dirinya (“sence
of identity”), yaitu lebih memahami keadaan yang terjadi pada dirinya.
Rasa Harga Diri (“Self Esteem”)
Kebutuhan
akan rasa harga diri tidak akan terpenuhi atau terpuaskan tanpa adanya orang
lain, demikian menurut Alderman (1974), dan kebutuhan rasa harga diri ini dapat
terpenuhi melalui hubungan interpersonal dengan orang lain (pelatih, sesame
atlet, dan penonton).
Sehubungan
dengan pendapat tersebut, maka rasa harga diri dapat dibina melalui
ketergabungan atlet dalam kelompok-kelompok olahrga yang dipandang elite oleh
para atlet atau masyarakat.
Disiplin Dan Tanggung Jawab
Disiplin
adalah sikap atau kesediaan psikologik untuk menepati atau mendukung
nilai-nilai atau norma yang berlaku. Atlet yang disiplin akan berusaha menepati
ketentuan, tata tertib, dan biasanya patuh pada pembuat peraturan (Pelatih atau
Pembina).
Disiplin
atlet apabila dikembangkan lebih lanjut dapat menimbulkan kesadaran yang
mendalam untuk menepati segala bentuk nilai-nilai, meskipun tidak ada yang
mengawasi bahkan akhirnya juga akan mematuhi rancana-rencana yang dibuatnya,
sesuai dengan pengetahuan tantang hal-hal yang diaggap baik. Kesadaran yang
timbul dari dalam dirinya sendiri, tanpa adanya pengawasan dari orang lain,
menimbulakan disiplin diri sendiri.
Atlet
yang memiliki disiplin sendiri sadar untuk melakukan latihan sendiri, tanpa ada
yang memerintah dan mengawasi. Ia sudah mempunyai rasa tanggung jawab untuk
menepati dan mendukung nilai-nilai yang diaggap baik dan tepat untuk dilakukan.
Penguasaan Diri
Penguasaan
diri erat hubungan nya dengan kematangan emosional atlet, tegas nya atlet yang
dapat menguasai diri berarti dapat menguasai emosionalnya dalam menghadapi
segala bentuk stimulasi yang tidak cocok dangan perasaannya. Atlet yang dapat
menguasai diri berarti juga dapat mengontrol emosinya, dapat menahan nafsu
menghadapi kekecewaan, rasa marah, dan sebagainya.
John
D. Lawter, (1972) mengemukakan bahwa dalam keadaaan “overstress threshold”, yaitu tingkat batas ambang ketegagan akan
terjadi interfrensi (gangguan) dalam penampilan seorang atlet.
c.
Gejala
Psikologi Yang Dapat Menimbulkan Gangguan
Boredom, Fatique dan Staleness
Boredom,
adalah perasaan jemu tau bosan, sehigga atlet tidak bergairah untuk melakukan
latihan-latihan ataupun pertandingan.
Boredom
terjadi pada atlet apabila latihan-latihan kurang bervariasi, latihan
bersasaran penigkatan kemampuan fisik dan kurang memperhatikan aspek psikis
atlet, khususnya yang berhubungan dengan minat motivasi atlet.
Jenis-jenis
kelelahan yang dialami atlet adalah “physical
fatique” atau kelelahan fisik dan “mental
fatique” atau kelelahan mental.
“Physical fatiqeu” terjadi
karena atlet mengalami kelelahan otot-ototnya sehigga tidak dapat melakukan
aktivitas fisik, terjadi ketegangan otot, badan merasa lemas dan sebagainya.
Stress, Anxiety dan Frustasi
Setiap
orang mempunyai ambang stress (“stress
tershold”) tersendiri. Dalam kenyataan dapat terjadi gejala yang dinamakan “over-stress threshold”, yaitu stress yang
memuncak melebihi ambang batas stress yang di kuasai seseorang. Sudah barang
tentu hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap penampilan individu yang
bersangkutan.
Menurut
Suparinah dan Sumarno Markam (1982), jika stress yang dihadapi seseorang berlangsung
terus menerus, maka akan timbul kecemasan. Kecemasan adalah suatu perasaan tak
berdaya, perasaan tak aman, tanpa sebab yang jelas. Perasaan cemas atau “anxiety” kalau dilihat dari kata “anxiety” berarti perasaan tercekik.
Menurut
Sappenfield (1945) frustasi dapat terjadi pada saat individu mulai melihat
adanya gangguan kepuasannya. Apabila pemenuhan kebutuhan atau pencapaian
kepuasan tidak terpenuhi, maka atlet dapat mengalami frustasi.
Frustasi
positif dapat di tafsirkan bahwa pada diri individu yang bersangkutan ada
rintangan terhadap kemajuan individu mencapai tujuan, tanpa adanya pengaruh
dari luar (perlakuan) yang membatasi tercapainya kepuasan.
Tindakan Agresif
Dalam
olahraga sering kita lihat seorang atlet yang mendapat hukuma menjadi marah tidak
terkendali, lalu memukul wasit. Tindakan agresif memukul wasit tersebut
memungkinkan di landasi keadaan kejiwaan atlet yang mengalami frustasi. Sesuai
pendapat Dollard, dkk, yang mengemukakan ; “Agression
is always a consequence of frustration to mean that frustration always leads to
aggressive behaviour”. (Magargree & Hokanson, 1970).
Sehubungan
dengan tindakan agresif yang dilakukan seseorang, tetapi bukan karena orang
tersebut mengalami frustasi, Raven dan Rubin (1976) mengemukakan pandapat
beberapa gejala, yaitu :
1. Tindakan
agresif instrumental
2. Tindakan
agresif atas dasar meniru
3. Tindakan
agresif atas dasar perintah
4. Tindakan
agresif dalam hubungannya dengan peran social
5. Tindakan
agresif karena pengaruh kelompok
d.
Menetapkan
Strategi Pembinaan Mental
Semua
upaya pembinaan mental, baik itu perlakuaan sehari-hari, bimbingan dan
konseling, maupun mental training, harus terkait dengan tujuan akhir dari
mental training maupun pembinaan mental.
Chung
Sung Tai (1988) juga mengungkapkan pandangan dasar mengenai perlunya mental
training agar atlet mencapai prestasi puncak, antaralain di kemukakan perlu di
kosentrasi untuk dapat mencapai prestasi tinggi. Menurut Chung Sung Tai di
samping pendekatan holistic, maka mental training juga selalu berkaitan erat
dengan latar belakang kehidupan atlet, oleh kerena itu mental training tidak
sama antara yang satu dengan bangsa lain.
Salah
satu tujuan mental training adalah melatih bagaimana menemukan cara-cara untuk
mendapat mengontrol diri, cara yang biasa dilakukan sehari-hari untuk
mengontrol sesuatu dengan kemampuan penuh kesadaran dan keteguhan hati (tekad
yang bulat). Upaya penting dalam mental training adalah menumbuhkan pikiran
positif (positive thinking) terhadap
sekitar dan juga terhadap diri sendiri, sekitar dan gambaran tentang pribadi
ideal, yang diharapkan akan membentuk citra diri. Citra diri dan persepsi diri
yang berbeda-beda akan menghasilkan sikap dan tindakan yang berbeda pula.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Psikologi olahraga adalah
merupakan salah satu cabang ilmu yang relatif baru, yaitu merupakan salah satu
hasil perkembangan dari psikologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sejak akhir abab ke-19 para ahli psikologi telah berusaha menerapkan hasil-hasil
penelitian psikologi ke dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya
tumbuh dan berkembang apa yang disebut sebagai psikologi terapan (applied psychology) di berbagai
bidang, termasuk salah satunya adalah dalam bidang olahraga.
Pada awalnya psikologi hanya mengembangkan diri secara vertical, artinya bahwa psikologi berkembang hanya terbatas dalam lingkup
disiplin ilmunya sendiri, yaitu tentang kejiwaan manusia sebagai individu
(belum dikaitkan dengan hal lain disekitarnya). Sedangkan manusia sebenarnya
bukan hanya individu, melainkan juga merupakan makhluk sosial, yang berarti
segala perilaku tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungan.
Dengan demikian memaksa para ahli psikologi tidak hanya mengembangkan disiplin ilmunya
secara vertical melainkan juga harus mengembangkan psikologi secara horisontal. Oleh karena olahraga juga merupakan salah satu bentuk perilaku
manusia, maka dalam perkembangan secara horisontal psikologi juga memasuki bidang olahraga, dan muncullah Psikologi Olahraga. Dengan demikian sebenarnya bahwa psikologi olahraga adalah merupakan perpaduan antara psikologi dan
olahraga.
B. SARAN
Sebaiknya
psikologi dalam diri kita harus di jaga juga, agar kita bisa mengontrol diri
kita untuk membentuk karakter kepribadian yang baik.
No comments:
Post a Comment