Social Icons

Monday, September 29, 2014

Makalah Psikologi Olahraga

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Psikologi olahraga merupakan mata kuliah yang sangat penting dalam perkuliahan olahraga. Sebagai mana telah di ketahui psikologi olahraga peran yang sangat penting dalam membentuk mental atlet dan mengantarkan atlet kejenjang juara.
Peran mental dalam kegiatan olahrga telah banyak di teliti oleh para psikologi dan atlet-atlet di dunia. Bukan hanya mental yang mengantarkan atlet kejenjang juara, tetapi motivasi dalam kegitan olahraga itu sangat penting psikologi olahraga itu sangat penting. Psikologi olahraga juga bukan hanya mengantarkan atlet menjadi juara akan tetapi juga membentuk karakter atlet yang lebih baik.
B.     RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan apa yang kita sampaikan sebelumnya bahwa makalah ini akan membahas tentang psikologi dalam olahraga, maka yang akan menjadi rumusan masalahnya kali ini yaitu :
1.      Sejarah psikologi olahraga

2.      Psikologi dalam olahraga
3.      Mental trainning
C.    TUJUAN PENULISAN
Dengan adanya makalah psikologi olahraga ini di harapkan menambah wawasan dan pengetahuan khususnya mengenai psikologi olahraga dan juga Untuk mengetahui proses pisikologi dan seberapa penting psikologi olahraga dalam kegiatan olahraga.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    SEJARAH SINGKAT PSIKOLOGI OLAHRAGA
Psikologi olahraga pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898. Norman Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih cepat jika mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika membalap sendiri.
Baru tahun 1925 laboratorium psikologi olahraga pertama di Kawasan Amerika Utara berdiri. Pendirinya adalah Coleman Griffith dari Universitas Illinois. Griffith tertarik pada pengaruh faktor-faktor penampilan atletis seperti waktu reaksi, kesadaran mental, ketegangan dan relaksasi otot serta kepribadian. Dia lalu menerbitkan dua buah buku, The Psychology of Coaching (1926)- buku pertama di dunia Psikologi Olahraga-dan The Psychology of Athletes (1928).
Pada tahun yang sama, di Eropa sebenarnya juga berdiri sebuah laboratorium Psikologi Olahraga yang didirikan oleh A.Z Puni di Institute of Physical Culture in Leningrad. Namun Laboratorium Psikologi Olahraga pertama di dunia sebenarnya didirikan tahun 1920 oleh Carl Diem di Deutsce Sporthochschule di Berlin, Jerman.
Setelah periode tersebut psikologi olahraga mengalami kemandekan. Baru pada tahun 1960-an psikologi olahraga kembali mulai berkembang. Perkembangan ini ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan membuka konsentrasi pengajaran pada Psikologi Olahraga. Puncaknya adalah pembentukan International Society of Sport Psychology (ISSP) oleh para ilmuan dari penjuru Eropa. Kongres internasional pertama diadakan pada tahun yang sama di Roma, Italia.
Pada tahun 1966, sekelompok psikolog olahraga berkumpul di Chicago untuk membicarakan pembentukan semacam ikatan psikologi olahraga. Mereka kemudian dikenal dengan nama North American Society of Sport Psychology and Physical Activity (NASPSPA).
Journal Sekolah pertama yang dipersembahkan untuk psikologi olahraga keluar tahun 1970 dengan nama The International Journal of Sport Psychology. Kemudian diikuti oleh Journal of Sport Psychology tahun 1979. Meningkatnya minat melakukan penelitian dalam bidang psikologi olahraga di luar laboratorium memicu pembentukan Advancement of Applied Sport Psychology (AAASP) pada tahun 1985 dan lebih berfokus secara langsung pada psikologi terapan baik dalam bidang kesehatan maupun dalam konteks olahraga.
Kini Psikologi Olahraga sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kongres International Society of Sport Psychology Conference Di Yunani tahun 2000 telah dihadiri lebih dari 700 peserta yang berasal dari 70 negara. American Psychological Association pun telah memasukkan psikologi olahraga dalam divisi mandiri yakni divisi 47.
Penerbitan dan jurnal pun sudah sangat banyak. Beberapa penerbitan dan jurnal tersebut adalah (a) International Journal of Sport Psychology (1970); (b) Journal of Sport Psychology (1979) yang kemudian berubah nama menjadi 1988 Journal of Sport and Exercise Psychology; NASPSPA pada tahun 1988. penerbitan lain adalah The Sport Psychologist (1987)—sekarang, Journal of Applied Sport Psychology (1989)— sekarang, serta The Psychology of Sport and Exercise.
B.     PSIKOLOGI DALAM OLAHRAGA
a.      Pentingnya Psikologi Dalam Olahraga
Griffith di kenal sebagai “Bapak Psikologi Olahraga”. Ia banyak melakukan studi melalui rangkaian pengamatan informasi pada berbagai cabang olahraga dan menyusun tes sebagai tolak ukur. Tiga bidang pengamatan dan setudinya ialah :
1.      keterampilan psikomotor
2.      proses belajar
3.      corak ragam kepribadian
Beberapa ungkapan menarik mengenai pentingnya factor psikis (mental) atau yang sering disebut sebagai factor non-teknis, di kemukakan oleh para psikolog olahraga, pelatih maupun atlet sendiri.
1.      James E Loehr (1982), mengatakan “at least 50 percent of the process of playing well is the result of mental and psychological factors”. Jelas disini ditekankan pentingnya factor mental-psikolog.
2.      Steven j. danis (1985), psikologi olahraga dari Pennsylvania, mengatakan “The difference between an outstanding athletic perfoprmance and a good athletic performance really has very little to do with phsycal skills. It is mostly related to mental skills. Factor mental yang berpengaruh besar pada atlet.
3.      Sehubungan dengan teknis, Stepherd mead penulis buku mengatakan bahwa, “tennis is at least 50 percent psychological”.
b.      Psikologi Yang Diterapkan Dalam Olahraga
Psikologi Perkembangan
Dalam psikologi perkembangan dikenal interaksi antara bakat dan lingkungan (nature vs nurture).  Kalau bakat sudah ditemukan, usaha pencetakan atlet sangat diperlukan. Keberhasilan korea selatan atau jepang dalam olahraga di tingkat dunia jelas menujukan keberhasilan “mencetak atlet”. Pada Negara maju, tentunya dengan pengetahuan yang maju serta di tunjang peralatan canggih, mereka berhasil mengembangkan para etlet sampai ke puncak penampilannya sajajar dengan atlet-atlet dunia lainnya (tentu tidak pada semua cabang olahraga).
Psikologi Belajar
Proses belajar menjadi ciri umum dari individu yang sedang tumbuh dan berkembang. Belajar bisa belangsung secara pasif melalui intansi atau secara aktif yang sengaja di buat, diprogramkan atau diintruksikan. Banyak penampilan yang Nampak sekarang ini adalah hasil proses belajar (aktif atau pasif). Proses pembentukan ini banyak mempergunakan dasar dan konsep psikologi belajar.
Dalam usaha mencentak atlet yang baik perlu usaha keras dan berbagai pihak. Pada atlet pemula atau muda usia, peran serta dari keluarga (orang tua) besar sekali, dari minat dan bakat, dari kemampuan teknis sebagai bakat (potensi) yang dimiliki harus bisa di munculkan (aktualisasi) menjadi prestrasi.
Psikologi kepribadian
L.Cooper (1969) telah melakukan penelitian dalam jangka waktu lama, yakni dari tahun 1937 sampai tahun 1967. Ia menyimpulkan antara lain : “that atheletes wereclearly achievement oriented”. Aspek kepribadian yang cukup dominative dalam penampilan atlet ialah motivasi, emosi dan kognisi.
Psikologi Sosial
Proses sosialisasi menjadi salah satu aspek yang perlu mendapat pehatian khusus, agar pandangan dan sikap-sikapnya terhadap orang lain tidak menjadi sempit. Kepercayaan diri berkaitan pula dengan pengaruh sekelilingnya. Dalam hal ini yang jelas adalah pengaruh penonton. Penonton adalah sekelompok massa yang bisa menekan perasan atlet, sekalipun dalam hal-hal tertentu dapat menjadi pendorong positif kearah penampilannya yang optimal.
Pendekatan psikologi social dapat diarahkan untuk mengubah sikap penyesuaian diri serta kepercayaan diri seorang.

Psikometri
          Penilaian terhadap atlet merupakan usaha untuk menentukan langkah-langkah dalam pembinaan lebih lanjut atau mengambil tindakan-tindakan cepat sesuai dengan kebutuhannya. Penilaian ini menjadi masalah yang rumit dalam olahraga. Seorang pelatih tinju bisa menilai kelemahan-kelemahan petinjunya, meskipun penilaian itu tidak selalun sama dengan pelatih lain. Demikian pula pelatih-pelatih lain dalam cabang olahraga tennis, tennis meja, bulu tangkis, taekwondo, pencak silat, bahkan juga dalam olahraga kelompok seperti bola basket, bola voli dan sepak bola. Kreteria untuk melakukan penilaian acapkali tidak jelas, kabur dan terlalu  penyusunan tes agar validitas dan reliabilitasnya terjamin.
          Penggunaan psikometri harus menjadi kebijaksanaan dan bahkan peraturan sehingga semua hal, yang akan ditentukan mengenai kepribadian atlet dapat dilakukan dengan dasar patokan yang mantap.
C.    MENTAL TRAINNING
a.      Meningkat Dan Merosotnya Prestasi Atlet
Strategi mental training dan perlakuan (treatment) yang di latihkan harus disesuaikan dengan keadaan individual atlet, selaiin harus disesuaikan dengan keadaan sebagian besar anggota team, karena ada mental training yang ditunjukan kepada atlet orang perorang.
Sehubungan itu perlu diketahui beberapa gejala yang sering terjadi pada atlet, baik gejala yang perlu dikembangkan, maupun gejala-gejala yang menimbulkan gangguan atau hambatan pencapaian pertasi.
Penetapan strategi mental training selain disesuikan dengan sifat-sifat pembawaan, juga disesuaikan dengan situasi pada waktu itu, misalnya sedang menghadapi pertandingaan yang menentukan atau sesudah kalah pertandingan di mana seluruh anggota tim merasa terpukul dan merasa sangat malu dengan kekalahan yang dialami.
b.      Gejala Psikologik Yang Perlu Dikembangkan
Disamping motivasi, ada beberapa gejala psikologik yang sangat penting dan menentukan pencapaian perstasi, yaitu antara lain percaya diri, rasa herga diri, disiplin, tanggung jawab, penguasaan diri, sikap dan konsep diri.
Disamping itu, perlu di perhatikan adanya gejala-gejala psikologik yang dapat menimbulkan gangguan, antara lain boredom, fatique, stalene stress, anxiety dan frustasi. Agresivitas yang mengandung segi-segi positif juga dapat berdampak negetif dan perlu di perhatikan dalam upaya peningkatan prestasi.
Motif Berprestasi
Sifat-sifat mitof di antaranya sebagai berikut :
1.      merupakan sumber penggerak dan pendorong dari dalam diri subjek yang terorganisasi
2.      terarah pada tujuan tertentu secara selektif
3.      untuk mendapat kepuasan atau menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan
4.      dapat disadari atau tidak disadari
5.      ikut menentukan pola kegiatan
6.      bersifat dinamik, dapat berubah dan dapat di pengaruhi
7.      merupakan ekpresi dari suatu emosi atau afeksi
8.      ada hubungannya dangan unsure kognitif dan afektif
9.      motivasi merupakan determinan sikap dan kinerja

Percaya Diri (“Self Confidence”)
Kepercayaan pada diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam pembinaan mental atlet. Percaya pada diri sendiri akan menimbulkan rasa aman. Kepercayaan diri sendiri biasanya berhubungan erat dengan “emotional security” makin matap kepercayaan pada diri sendiri makin mantap pula “emotional security” nya, hal ini akan terlihat pada sikap dan tingkah laku yang tidak mudah bimbang, tenang, tegas, dan sebagainya.
Menurut Robert N. Sigger (1984), menghadapi atlet yang kurang percaya diri sendiri (“lack of confidence”), pelatih dapat membantu atlet merasakan identitas dirinya (“sence of identity”), yaitu lebih memahami keadaan yang terjadi pada dirinya.
Rasa Harga Diri (“Self Esteem”)
Kebutuhan akan rasa harga diri tidak akan terpenuhi atau terpuaskan tanpa adanya orang lain, demikian menurut Alderman (1974), dan kebutuhan rasa harga diri ini dapat terpenuhi melalui hubungan interpersonal dengan orang lain (pelatih, sesame atlet, dan penonton).
Sehubungan dengan pendapat tersebut, maka rasa harga diri dapat dibina melalui ketergabungan atlet dalam kelompok-kelompok olahrga yang dipandang elite oleh para atlet atau masyarakat.
Disiplin Dan Tanggung Jawab
Disiplin adalah sikap atau kesediaan psikologik untuk menepati atau mendukung nilai-nilai atau norma yang berlaku. Atlet yang disiplin akan berusaha menepati ketentuan, tata tertib, dan biasanya patuh pada pembuat peraturan (Pelatih atau Pembina).
Disiplin atlet apabila dikembangkan lebih lanjut dapat menimbulkan kesadaran yang mendalam untuk menepati segala bentuk nilai-nilai, meskipun tidak ada yang mengawasi bahkan akhirnya juga akan mematuhi rancana-rencana yang dibuatnya, sesuai dengan pengetahuan tantang hal-hal yang diaggap baik. Kesadaran yang timbul dari dalam dirinya sendiri, tanpa adanya pengawasan dari orang lain, menimbulakan disiplin diri sendiri.
Atlet yang memiliki disiplin sendiri sadar untuk melakukan latihan sendiri, tanpa ada yang memerintah dan mengawasi. Ia sudah mempunyai rasa tanggung jawab untuk menepati dan mendukung nilai-nilai yang diaggap baik dan tepat untuk dilakukan.
Penguasaan Diri
Penguasaan diri erat hubungan nya dengan kematangan emosional atlet, tegas nya atlet yang dapat menguasai diri berarti dapat menguasai emosionalnya dalam menghadapi segala bentuk stimulasi yang tidak cocok dangan perasaannya. Atlet yang dapat menguasai diri berarti juga dapat mengontrol emosinya, dapat menahan nafsu menghadapi kekecewaan, rasa marah, dan sebagainya.
John D. Lawter, (1972) mengemukakan bahwa dalam keadaaan “overstress threshold”, yaitu tingkat batas ambang ketegagan akan terjadi interfrensi (gangguan) dalam penampilan seorang atlet.
c.       Gejala Psikologi Yang Dapat Menimbulkan Gangguan
Boredom, Fatique dan Staleness
Boredom, adalah perasaan jemu tau bosan, sehigga atlet tidak bergairah untuk melakukan latihan-latihan ataupun pertandingan.
Boredom terjadi pada atlet apabila latihan-latihan kurang bervariasi, latihan bersasaran penigkatan kemampuan fisik dan kurang memperhatikan aspek psikis atlet, khususnya yang berhubungan dengan minat motivasi atlet.
Jenis-jenis kelelahan yang dialami atlet adalah “physical fatique” atau kelelahan fisik dan “mental fatique” atau kelelahan mental.
“Physical fatiqeu” terjadi karena atlet mengalami kelelahan otot-ototnya sehigga tidak dapat melakukan aktivitas fisik, terjadi ketegangan otot, badan merasa lemas dan sebagainya.
Stress, Anxiety dan Frustasi
Setiap orang mempunyai ambang stress (“stress tershold”) tersendiri. Dalam kenyataan dapat terjadi gejala yang dinamakan “over-stress threshold”, yaitu stress yang memuncak melebihi ambang batas stress yang di kuasai seseorang. Sudah barang tentu hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap penampilan individu yang bersangkutan.
Menurut Suparinah dan Sumarno Markam (1982), jika stress yang dihadapi seseorang berlangsung terus menerus, maka akan timbul kecemasan. Kecemasan adalah suatu perasaan tak berdaya, perasaan tak aman, tanpa sebab yang jelas. Perasaan cemas atau “anxiety” kalau dilihat dari kata “anxiety” berarti perasaan tercekik.
Menurut Sappenfield (1945) frustasi dapat terjadi pada saat individu mulai melihat adanya gangguan kepuasannya. Apabila pemenuhan kebutuhan atau pencapaian kepuasan tidak terpenuhi, maka atlet dapat mengalami frustasi.
Frustasi positif dapat di tafsirkan bahwa pada diri individu yang bersangkutan ada rintangan terhadap kemajuan individu mencapai tujuan, tanpa adanya pengaruh dari luar (perlakuan) yang membatasi tercapainya kepuasan.
Tindakan Agresif
Dalam olahraga sering kita lihat seorang atlet yang mendapat hukuma menjadi marah tidak terkendali, lalu memukul wasit. Tindakan agresif memukul wasit tersebut memungkinkan di landasi keadaan kejiwaan atlet yang mengalami frustasi. Sesuai pendapat Dollard, dkk, yang mengemukakan ; “Agression is always a consequence of frustration to mean that frustration always leads to aggressive behaviour”. (Magargree & Hokanson, 1970).
Sehubungan dengan tindakan agresif yang dilakukan seseorang, tetapi bukan karena orang tersebut mengalami frustasi, Raven dan Rubin (1976) mengemukakan pandapat beberapa gejala, yaitu :
1.      Tindakan agresif instrumental
2.      Tindakan agresif atas dasar meniru
3.      Tindakan agresif atas dasar perintah
4.      Tindakan agresif dalam hubungannya dengan peran social
5.      Tindakan agresif karena pengaruh kelompok


d.      Menetapkan Strategi Pembinaan Mental
Semua upaya pembinaan mental, baik itu perlakuaan sehari-hari, bimbingan dan konseling, maupun mental training, harus terkait dengan tujuan akhir dari mental training maupun pembinaan mental.
Chung Sung Tai (1988) juga mengungkapkan pandangan dasar mengenai perlunya mental training agar atlet mencapai prestasi puncak, antaralain di kemukakan perlu di kosentrasi untuk dapat mencapai prestasi tinggi. Menurut Chung Sung Tai di samping pendekatan holistic, maka mental training juga selalu berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan atlet, oleh kerena itu mental training tidak sama antara yang satu dengan bangsa lain.
Salah satu tujuan mental training adalah melatih bagaimana menemukan cara-cara untuk mendapat mengontrol diri, cara yang biasa dilakukan sehari-hari untuk mengontrol sesuatu dengan kemampuan penuh kesadaran dan keteguhan hati (tekad yang bulat). Upaya penting dalam mental training adalah menumbuhkan pikiran positif (positive thinking) terhadap sekitar dan juga terhadap diri sendiri, sekitar dan gambaran tentang pribadi ideal, yang diharapkan akan membentuk citra diri. Citra diri dan persepsi diri yang berbeda-beda akan menghasilkan sikap dan tindakan yang berbeda pula.



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Psikologi olahraga adalah merupakan salah satu cabang ilmu yang relatif baru, yaitu merupakan salah satu hasil perkembangan dari psikologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sejak akhir abab ke-19 para ahli psikologi telah berusaha menerapkan hasil-hasil penelitian psikologi ke dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya tumbuh dan berkembang apa yang disebut sebagai psikologi terapan (applied psychology) di berbagai bidang, termasuk  salah satunya adalah dalam bidang olahraga.
Pada awalnya psikologi hanya mengembangkan diri secara vertical, artinya bahwa psikologi berkembang hanya terbatas dalam lingkup disiplin ilmunya sendiri, yaitu tentang kejiwaan manusia sebagai individu (belum dikaitkan dengan hal lain disekitarnya). Sedangkan manusia sebenarnya bukan hanya individu, melainkan juga merupakan makhluk sosial, yang berarti segala perilaku tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungan.
Dengan demikian memaksa para ahli psikologi tidak hanya mengembangkan disiplin ilmunya secara vertical melainkan juga harus mengembangkan psikologi secara horisontal. Oleh karena olahraga juga merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, maka dalam perkembangan secara horisontal psikologi juga memasuki bidang olahraga, dan muncullah Psikologi Olahraga. Dengan demikian sebenarnya bahwa psikologi olahraga adalah merupakan perpaduan antara psikologi dan olahraga.
B.     SARAN

Sebaiknya psikologi dalam diri kita harus di jaga juga, agar kita bisa mengontrol diri kita untuk membentuk karakter kepribadian yang baik.

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates